28 February 2019

Seni Bertetangga #1: Kapan Harus Laporkan Tetangga Rese ke Binmas?

Tetangga yang baik adalah rejeki. Dan tak semua orang mendapatkan privilege tadi. Drama pertetanggaan tak pernah letih menghampiri. Termasuk kami.

Tahun 2013 setelah menikah, kami (-saya tepatnya) tinggal di rumah baru. Lingkungan baru. Banyumanik. Sumber air. Daerah Semarang atas. Jauh dari keluarga, pun Suami masih di Jakarta. Saya harus menciptakan suasana nyaman. Saya harus baik pada para tetangga, yang mayoritas paruh baya. Baik, saya memang warga paling muda.

"Hati-hati dengan Bu A," Salah satu tetangga mengingatkan. Baik, tidak masalah. Saya tak akan bikin ulah.

Tahun 2014, Suami pindah Semarang. Pun saya mulai sadar ada beberapa barang yang menghilang. Handuk, sapu, kuas, dan printilan-printilan di teras. Padahal rumah saya berpagar. Dan pintu pagarnya berat sekali.

Semakin lama barang yang hilang semakin terjadwal. Yaitu ketika kami mudik. Kemana barang-barang tadi? Siapa pelakunya? Ga ada kerjaan sekali nyuri kuas oli? Sampai jemuran handuk yang dari aluminium pun ikut raib. Polanya sama. Saat kami mudik.

"Mba, saya lihat jemurannya Mba Fitri" Ibu pocokan tiba-tiba senyum geli "Itu di depan rumah Bu A. Nanti klo Mba Fitri lewat, lihat aja." Ini terjadi setahun setelah misteri hilangnya jemuran tadi. Memang benar. Saya hafal jemuran saya. Karena salah satu gagangnya lepas. Dan saya masih menyimpannya. Bentuk jemuran di depan rumah Bu A pun mirip, warna dan gagangnya yang lepas. Ya sudah. Saya ikhlaskan saja.

Tapi. Lagi-lagi. Ada hal aneh. Kali ini berubah polanya. Yaitu ketika keluarga saya atau keluarga Suami datang berkunjung. Mulai pot yang jatuh dari atas pagar sampai sindiran-sindiran tiap saya lewat.

"Bu A iri sama kamu, Nduk. Semalam mencak-mencak gara-gara keluargamu datang bawa sepeda untuk anakmu."

Saya melongo.
Iri karena mertua ngasih sepeda buat anak saya?
Lho, anak saya dikasih Eyangnya sepeda apa yang salah?
Marah sampai jatuhin pot tanaman saya gara-gara lihat Eyang ngasih sepeda untuk cucunya sendiri?
Marah tiap keluarga saya datang bawa banyak sekali oleh-oleh? Padahal pasti saya bagi untuk semua tetangga, termasuk dia. Lho kok marah? Mau marah sama siapa?

Ya sudah. Saya putuskan berhenti menegurnya.
Berhenti menaruhnya di daftar orang yang harus saya kasih oleh-oleh.

No comments:

Post a Comment