01 March 2019

Seni Bertetangga #2: Kapan Harus Laporkan Tetangga Rese ke Binmas?

Sabar memang ada batasnya. Terlebih untuk saya yang cenderung over protective. Masalah anak.

2017 entah di bulan apa. Tetangga yang berprofesi tentara nemu ular di sungai kecil depan perumahan. Ular itu ditangkap. Dimasukin kandang kucing, yang ga ada kucingnya tentu saja. Kemudian ditempatkan di ruang terbuka. 10 meter dari rumah saya. Untuk nantinya entah dia jual entah dibuang dimana.

Sore. Anak-anak berkerumun. Melihat ular dari dekat. Termasuk Bu A. Anak saya yang usia 3 tahunan pun tertarik. Penasaran. Saya masak di dapur. Ternyata anak saya naik pagar. Keluar. Mau lihat ular. Saya keluar dan mendapati anak saya di kerumunan. Saya panggil. Saya suruh masuk. Baru separuh jalan menuju rumah, Bu A nyeletuk. Anak kayak di penjara. Saya tak mau kalah. Daripada bergaul dengan maling. Saya membalas. Situasi pun makin memanas. Entah karena sedang PMS atau kehabisan stok sabar. Saya berteriak padanya. Semua dosanya saya ungkap di depan warga. Dia ikutan panas. Berkata saya masih kecil sok sok keminter.
"Emang aku pinter. Meh ngopo?!" Saya jawab dengan suara super tinggi.

Beberapa menit penuh emosi, beberapa warga melerai. Meminta saya masuk. "Sudah Maghrib", Kata mereka.

Warga bubar.
Anak saya diam. Pertama kali lihat Bundanya semarah itu. Dia bilang ga akan lompat pagar. Ga akan lihat ular.
Suami saya menasehati. Minta saya berhati-hati. Marah boleh tapi tetap harus dikontrol. Dia bilang. Saya diam saja. Masih panas.
Selepas Maghrib. Dua warga datang. Selaku keamanan, mereka tanya ada apa. Saya ceritakan semua. Mereka mengerti. Memang seperti itu Bu A (dan suami). Mereka mantan preman pasar. Sekarang pengangguran. Suaminya kena stroke. Anak-anaknya tak bersuami. Ada yang punya anak. Begitulah. Bukan teladan. Agama pun entah apa. Tak pernah ke gereja, pun ke Masjid. Tapi mereka orang tua, saya masih muda. Saya harus mengalah. Saya diajak ke rumah mereka. Ditemani keamanan, termasuk tentara tadi. Saya oke. Saya jawab angkuh sekali. Saya iyakan. Tapi saya minta waktu minggu depan. Setelah pulang dari Tangerang. Mereka berseri-seri, membayangkan warganya akan rukun kembali. Kemudian berpamitan.


Seminggu kemudian. Dini hari saya kembali pulang Semarang. Jam 8 kegiatan produksi Tahu Jamur Mercon dimulai. Ada 1 orang karyawan yang membantu.
Di tengah proses produksi itu, saya nyalakan pompa air. Mengalirkan air dari tandon ke kamar mandi dan tempat air untuk masak. Posisi tandon air ada di teras, di bawah tanah. Ditutup dengan pintu bergembok. Beberapa menit setelah pengisian air, saya ke kamar mandi. Kenapa airnya coklat? Ah mungkin air PDAM sedang keruh. Saya pikir. Beberapa menit kemudian mulai tercium bau. Seperti bau bangkai. Saya curiga. Pompa air langsung saya matikan. Saya cek ke depan. Saya buka tandon air. Urg! Saya tidak bisa gambarkan baunya tempat itu. Suami saya dan karyawan ikut kaget. Suami ambil alih. Dibuka kembali tandon itu. Dilihat apa yang membuatnya sebau itu. Terlihat dua onggok 'daging' di dasar air.

"Bangkai tikus?" Tanya saya.
"Bukan"

Kemudian kami kuras kamar mandi dan tandon air sekaligus. Suami saya turun ke dasar tandon dan ambil si sumber bau. Ternyata daging! Beneran daging. Seperti daging untuk rendang. Saya tahu ini ulah siapa. Suami saya sependapat. Terang saja baunya sangat busuk. Kemungkinan daging dimasukkan seminggu lalu! Saat kami berangkat Tangerang. Badan saya gemetar. Menahan emosi. Saya langsung ambil jilbab, saya ke rumah tetangga. Yang sejak awal memperingatkan tentang si A, dan merupakan guru ngaji. Saya nangis di sana. Sakit sekali.

"Saya tidak bisa sabar, Eyang. Saya mau lapor polisi." Kata saya seketika.
Beliau 'ngayem-ngayemi'.

No comments:

Post a Comment