06 March 2019

Hypnobirthing Series #1: Kelas Siap Lahiran

Melahirkan adalah fitrah wanita. Walaupun seringkali disertai ketakutan. Wajar. Namanya juga manusia. Termasuk saya. Biarpun pengalaman pertama sangat nyaman.

Di kehamilan kedua. Rasanya lebih lemah dibanding yang pertama. Mulai kulit gatal karena jamur, sampai flek (bleeding). Kayaknya perempuan deh ini, Mas. Kata saya pada Suami. Suami terkekeh, karena dia tetap keukeuh janinnya laki-laki (lagi). "Kata orang kalau pas hamil rewel itu tandanya bayinya cewek, Mas" saya tak mau kalah.

"Jangan lupa juga jadi males mandi."
Saya tertawa. Benar juga.

Dan ternyata Suami saya lah yang betul. Janin kami laki-laki. Anak pertama kami bahagia bukan kepalang. Saya dan Suami ledek-ledekan. Seperti biasa.

"Wah keluarga Bismania apa kabar? Baru saja kemarin malam saya kepikiran gimana ya kabar keluarga Bismania? Kebetulan banget" Sapa Bu Naning ketika kami masuk ruang praktiknya. Di Ngesti Widodo itu. Praktisi Hypnobirthing yang penyayang itu. Ternyata masih ingat kami. Setelah lima tahun tak kemari.



Pertemuan dengan Bu Naning berlanjut pada kelas Siap Lahiran. Yang digratiskan untuk pasien Ngesti Widodo. Setiap selasa jam 15.00. Jika bukan pasien Ngesti Widodo, bayar Rp 50.000/ datang. Kelas Siap Lahiran berbeda dengan yoga hamil. Kelas yoga hamil ada sendiri. Tiap Sabtu dan Minggu. Kelas Siap Lahiran khusus untuk usia kehamilan di atas 34 minggu. Selain diajari mengatur nafas, juga gerakan-gerakan untuk macam-macam manfaat. Mulai untuk bayi sungsang, agar bayi masuk panggul dan ngunci, sampai kegel. Semua gerakan wajib dipraktikkan setiap hari. Agar maksimal.

"Bu,, kemarin saya ke dokter. Semua tes bagus semua tapi mereka tiba-tiba bilang nanti saya lahiran caesar. Saya kaget. Mau marah juga gimana", curhat saya ke Bu Naning. Alasannya karena mata saya minus 5. Saya bilang ini hamil anak kedua. Anak pertama lahiran normal. Tetap tak digubris.

" Pokoknya ikhtiar dulu. Yakin saja bisa normal dan nyaman ya, Bu" Jawab Bu Naning. Dengan senyumannya. Seperti biasa.

Ayem.

04 March 2019

Seni Bertetangga #3: Kapan Harus Laporkan Tetangga Rese ke Binmas?

Emosi sudah di ubun-ubun. Mereka tak bisa dibiarkan. Selepas Maghrib, saya dan Suami berangkat ke Polsek Banyumanik. Kami disambut baik. Oleh beberapa polisi senior. Kami cerita dari awal sampai kejadian tandon air.

Awalnya mereka kira kami ingin memenjarakan si A. Atas tuduan pencurian dan perbuatan tidak menyenangkan. Tidak. Kami cuma ingin mereka jera. Pun kasus pencurian tak bisa ditindak lanjuti jika barang yang dicuri bernilai kurang dari Rp 2 juta. Mereka paham. Menjanjikan besok akan ada petugas yang datang. Ke rumah saya dan rumah si A. Akhirnya kami pulang. Tenang. Walau masih sedikit emosi.

Keesokannya, ada telpon. Mengaku petugas dari Polsek. Menanyakan apakah saya di rumah. Saya iyakan. Dan saya persilahkan. Akhirnya datang. Satu orang. Melihat kondisi tandon. Dan menanyakan apakah daging tersebut masih saya simpan.

"Saya buang, Pak. Tadinya saya foto juga tapi tiap liat fotonya langsung mau muntah karena masih terbayang baunya. Jadi saya hapus juga. Jika butuh saksi, saya ada. Karyawan saya."

Beliau menganalisa. Kemudian memanggil tetangga saya si tentara. Mereka berdua diskusi. Dan si tentara kaget.

"Ini sih sudah parah. Soalnya air kan kebutuhan pokok. Memang tidak bisa didiamkan. Harus ada tindakan."
Tandon Air


Mereka meninggalkan nomor telpon. Agar mudah kami hubungi. Kemudian mereka pamit. Mau langsung ke rumah si A. Memberi peringatan.

====

Keesokannya, ada telpon. Dari Binmas. Bertanya apa saya di rumah. Saya mengiyakan dan mempersilahkan beliau datang. Seperti Polisi pertama, Polisi kedua ini juga bertanya tentang kronologis. Polisi pertama dari divisi kriminal. Yang kedua dari Binmas (Pembinaan Masyarakat). Setelah bercerita dan membahas solusi dan pencegahan, beliau pamit. Langsung ke rumah si A. Memberi peringatan. Kami berterima kasih.

Dua hari sejak Polisi datang, si A tak pernah keluar rumah. Hari ke-3 Binmas kembali datang.

"Kalau saya sering lewat sini pasti dia takut sendiri." Beliau beri kami cctv bekas. Untuk menakut-nakuti katanya. Hahaa,

===

Rumor has it!
Kabar tentang tandon air dan Polisi yang datang menyebar. Semua warga mendengar kabar. Dan mulai banyak yang bercerita. Mereka girang bukan kepalang. Akhirnya ada yang berani melaporkan.
"Dari dulu itu kelakuan mereka kayak gitu, Nduk. Ayam, anjing, burung diambil. Pepaya, gas, pisang di teras pun diambil. Dia keluar tiap Subuh. Semua warga uda pada tahu. Uda rahasia umum."

"Lho, kenapa ga ada sanksi sosial, Bu? Warga sini tetap baik sama dia tuh saya lihat. Kayak ga ada apa-apa. Kalau kayak gitu terus, si A kan mikir klo ga ada orang tau kelakuannya."

---
Kemudian saya ke rumah Pak RT. Awalnya saya minta maaf karena langsung lapor Polisi tanpa diskusi dengan RT. Bu RT paham. Lagi-lagi..

"Semua warga sudah paham kelakuan Bu A. Tapi tidak ada yang menegur. Mereka pura-pura tidak tahu."

"Enak banget dong si A, Bu. Ngerasa di atas angin."

"Ya begitulah memang. Warga sini sudah pada sepuh, sudah malas ngurusin masalah, Mba."

=====

Sudah dua tahun sejak hari itu. Si A tidak pernah lagi berulah. Pada rumah saya. Pada saya. Sepertinya kapok. Saya tetap anggap dia tak ada. Saya tak pernah menengok ke arahnya. Biarlah dia jadi makhluk tak kasat mata. Bagi saya. Dan keluarga.

===

Fakta dan kesaksian warga:
1. Kejadian pot tanaman saya dijatuhkan. Di malam saat mertua datang. Mereka turunkan oleh-oleh dan sepeda. Kami pun pergi lagi untuk makan malam. Cuma 30 menit. Ketika kembali, pot sudah ambyar. Pecah. Ternyata pasien pijit bayi (sebelah rumah buka pijit bayi - kita sebut 'Tetangga B') lihat si A dorong pot itu. Sesaat setelah kami pergi.

2. Daging di dalam tandon adalah daging sapi. Yang dia ambil dari rumah tetangga B. Yang ada acara Ngunduh Mantu. Sehari setelah acara, saksi melihat si A membuka pagar rumah saya. Subuh-Subuh.

===

Apakah drama yang diprakarsai si A berhenti total? Oh jangan harap. Sekarang dia punya target baru. Tetangga B. Yang rumahnha samping rumah. Persis. Tetangga B ini lah yang dulu kasih makan si A sekeluarga. 'Kasih makan' dalam arti sebenarnya. Setiap hari. Dikirimin makanan komplit. Untuk 3x makan. Si A sekeluarga. Karena kasihan. Tapi kemudian si A ketahuan. Ketika tetangga ini Ngunduh Mantu, stok makanan berkurang. Tamu undangan banyak tak kebagian. Padahal sudah dihitung. Sesuai tamu undangan. Dan dilebihkan. Snack tradisional hilang 2 tampah, air mineral hilang 2 kardus, dan lainnya. Ketika ketahuan. Si A dan suaminya marah. Tersangka lebih ngotot daripada korban. Dari situlah drama dimulai. Si A mulai nyindir dan merusak barang tetangga B.

Salah satu contohnya, pot tanaman ini dibuang ke jurang. Siapa pelakunya? Semua orang sudah paham.
Pot Bunga

=====
Cara laporkan tetangga rese ke Binmas:
1. Kumpulkan bukti. Atau cerita. Atau saksi.
2. Lapor RT.
3. Lapor Polsek.

01 March 2019

Seni Bertetangga #2: Kapan Harus Laporkan Tetangga Rese ke Binmas?

Sabar memang ada batasnya. Terlebih untuk saya yang cenderung over protective. Masalah anak.

2017 entah di bulan apa. Tetangga yang berprofesi tentara nemu ular di sungai kecil depan perumahan. Ular itu ditangkap. Dimasukin kandang kucing, yang ga ada kucingnya tentu saja. Kemudian ditempatkan di ruang terbuka. 10 meter dari rumah saya. Untuk nantinya entah dia jual entah dibuang dimana.

Sore. Anak-anak berkerumun. Melihat ular dari dekat. Termasuk Bu A. Anak saya yang usia 3 tahunan pun tertarik. Penasaran. Saya masak di dapur. Ternyata anak saya naik pagar. Keluar. Mau lihat ular. Saya keluar dan mendapati anak saya di kerumunan. Saya panggil. Saya suruh masuk. Baru separuh jalan menuju rumah, Bu A nyeletuk. Anak kayak di penjara. Saya tak mau kalah. Daripada bergaul dengan maling. Saya membalas. Situasi pun makin memanas. Entah karena sedang PMS atau kehabisan stok sabar. Saya berteriak padanya. Semua dosanya saya ungkap di depan warga. Dia ikutan panas. Berkata saya masih kecil sok sok keminter.
"Emang aku pinter. Meh ngopo?!" Saya jawab dengan suara super tinggi.

Beberapa menit penuh emosi, beberapa warga melerai. Meminta saya masuk. "Sudah Maghrib", Kata mereka.

Warga bubar.
Anak saya diam. Pertama kali lihat Bundanya semarah itu. Dia bilang ga akan lompat pagar. Ga akan lihat ular.
Suami saya menasehati. Minta saya berhati-hati. Marah boleh tapi tetap harus dikontrol. Dia bilang. Saya diam saja. Masih panas.
Selepas Maghrib. Dua warga datang. Selaku keamanan, mereka tanya ada apa. Saya ceritakan semua. Mereka mengerti. Memang seperti itu Bu A (dan suami). Mereka mantan preman pasar. Sekarang pengangguran. Suaminya kena stroke. Anak-anaknya tak bersuami. Ada yang punya anak. Begitulah. Bukan teladan. Agama pun entah apa. Tak pernah ke gereja, pun ke Masjid. Tapi mereka orang tua, saya masih muda. Saya harus mengalah. Saya diajak ke rumah mereka. Ditemani keamanan, termasuk tentara tadi. Saya oke. Saya jawab angkuh sekali. Saya iyakan. Tapi saya minta waktu minggu depan. Setelah pulang dari Tangerang. Mereka berseri-seri, membayangkan warganya akan rukun kembali. Kemudian berpamitan.


Seminggu kemudian. Dini hari saya kembali pulang Semarang. Jam 8 kegiatan produksi Tahu Jamur Mercon dimulai. Ada 1 orang karyawan yang membantu.
Di tengah proses produksi itu, saya nyalakan pompa air. Mengalirkan air dari tandon ke kamar mandi dan tempat air untuk masak. Posisi tandon air ada di teras, di bawah tanah. Ditutup dengan pintu bergembok. Beberapa menit setelah pengisian air, saya ke kamar mandi. Kenapa airnya coklat? Ah mungkin air PDAM sedang keruh. Saya pikir. Beberapa menit kemudian mulai tercium bau. Seperti bau bangkai. Saya curiga. Pompa air langsung saya matikan. Saya cek ke depan. Saya buka tandon air. Urg! Saya tidak bisa gambarkan baunya tempat itu. Suami saya dan karyawan ikut kaget. Suami ambil alih. Dibuka kembali tandon itu. Dilihat apa yang membuatnya sebau itu. Terlihat dua onggok 'daging' di dasar air.

"Bangkai tikus?" Tanya saya.
"Bukan"

Kemudian kami kuras kamar mandi dan tandon air sekaligus. Suami saya turun ke dasar tandon dan ambil si sumber bau. Ternyata daging! Beneran daging. Seperti daging untuk rendang. Saya tahu ini ulah siapa. Suami saya sependapat. Terang saja baunya sangat busuk. Kemungkinan daging dimasukkan seminggu lalu! Saat kami berangkat Tangerang. Badan saya gemetar. Menahan emosi. Saya langsung ambil jilbab, saya ke rumah tetangga. Yang sejak awal memperingatkan tentang si A, dan merupakan guru ngaji. Saya nangis di sana. Sakit sekali.

"Saya tidak bisa sabar, Eyang. Saya mau lapor polisi." Kata saya seketika.
Beliau 'ngayem-ngayemi'.