Afirmasi positif sudah pasti. Ikhtiar sudah tentu. Tapi tiap kehamilan pasti bawa tantangan tersendiri.
Masuk trimester kedua, janin sudah mulai kuat. Nafsu makan meningkat. Aktivitas juga semakin padat. Saya yakin janin saya lahiran normal, cepat, dan nyaman.
Dukungan penuh dari Suami dan anak pertama selalu jadi pengingat. Bahkan anak sulung selalu cerewet nyuruh saya senam setiap mau tidur, seperti yang diajarkan Bu Naning. Dia sampai hafal gerakan-gerakannya. Hahaa, dia bilang "Bunda harus senam terus biar dedek bayi sehat dan lahirnya cepet".
Masuk trimester ketiga, saya merasa makin lentur. Pegel-pegel sudah pasti. Tapi jika disuruh jalan muterin lapangan, rasanya saya sanggup-sanggup saja.
Desember 2018.
HPL saya secara manual dan komputer beda, yaitu akhir Desember (komputer) dan awal Januari (manual). Saya Masih santai saja. Segala aktivitas ngajar ke Semarang bawah Masih bolak-balik saya jalani. Karena happy. Ah, paling nanti lahirnya deket sama Hari ulang tahun Ayahnya (20 Desember), pikir saya.
Rabu, 5 Desember 2018.
Anak pertama ada outing class di Cimory dan ortu/ wali diharapkan mendampingi. Saya datang dan ikut naik-turun tangga keliling Cimory. Enteng saja, karena saya memang suka jalan. Yang takut justru Ibu2 walimurid dan Guru2nya. Bahkan Ada Yang bilang "Mama,, ini nanti sampe rumah, malamnya bisa langsung lahiran lho. Hati-hati... Hati-hatiiiii... Udah, duduk aja di atas (cafe),, Ga usah ikut jalan". Saya ketawa.
Kamis, 6 Desember 2018.
Sekolah anak saya libur, Karena Ibu Guru mendampingi anak kelas B outing class. Gantian dengan kelas A. Suami saya iri. Dia ijin ga ngantor. Ngajak kami main ke Solo. Berangkat naik Kereta Api, pulang naik bis. "Ayo" saya bilang. Di antara terminal Tirtonadi dan stasiun Balapan ada sky bridge (jembatan penghubung), yang panjangnya 653 meter. Dan, Karena Kita memang keluarga hobi muter2, cari ini lah, itu lah; akhirnya bolak-balik lewat skybridge 3 Kali. Jalan kaki. Bisa ditotal dong ya itu jadi berapa? Walaupun lap terakhir saya dan anak sulung naik troli dan didorong Suami. Empot-empotan juga ternyata. Hahaa,
Jum'at, 7 Desember 2018.
Sabtu, 8 Desember 2018.
Subuh, saya merasa senut-senut di bagian miss V. Dan keluar lendir sedikit. Saya bilang Suami nanti setelah jemput anak sulung Kita langsung ke klinik Ngesti Widodo. Jadwal ngajar di Semarang bawah hari itu saya cancel. Jam 10.30 setiba di klinik, bidan jaga bilang kalau saya sudah bukaan 1. Mau dirawat di klinik atau pulang dulu? Tanyanya. Saya pilih pulang. Saya ingat pesan Bu Naning "kalau masih bukaan 1, lakukan apa yang Ibu sukai. Suka nge-mall? Silahkan nge-mall. Suka nyalon? Silahkan nyalon. Pokoknya bikin diri sendiri happy dan nyaman." Baiklah, saya mau nonton film di rumah. Tapi pulang dari klinik kita masih ada urusan dengan klien Suami di Jatingaleh, setelah itu baru pulang. Istirahat.
Minggu, 9 Desember 2018
Setelah Maghrib, saya nonton Johny English Reborn di rumah. Sambil ngitung kontraksi. Tiap kontraksi, saya catat. Tiap adegan lucu, terpaksa tahan tawa karena perut tak terima. Lagi-lagi, anak sulung saya yang siaga elus-elus punggung saya tiap kontraksi muncul. Ilmu dari Bu Naning ternyata dia ingat betul. Sampai terharu saya tuh.
Tengah Malam, kontraksi makin intens, tapi belum 5 menit sekali. Jam 3 dini Hari, saya bangunkan Suami "Pesan taksi sekarang, Mas".
Jam 4.55 WIB, si baby lahir. BB-nya kecil: 2,59 kg dan 51 cm. Dia berhasil lahir lewat nafas perut, tanpa mengejan. Anak hebat.
Dan seperti biasa, setiap lahiran hanya bersama Suami. Kali ini plus anak sulung yang lembut hatinya. Alhamdulillah,, terima kasih, ya Allah...
22 December 2019
13 April 2019
PAUD/ RA PERWANIDA 02: Sebuah Testimoni
Hampir setahun anak lanang sekolah di sini. Mbah dan Eyangnya bisa lihat perkembangannya. Ngajinya. Bacanya. Nulisnya. Hafalannya.
Saya memang tak setiap hari antar-jemput ke sekolah. Sudah ada pengantar yang kami percaya. Latihan mandiri. Tapi saya selalu pantau dari WA. Ke para gurunya. Yang selalu responsif.
Tiga hari pertama MOS, anak lanang masih saya temani. Yang saat itu sedang hamil. Dia ceria, tapi perasa. Mudah sekali keluar air mata. Mungkin karena terlalu saya manja. Saya pikir. Tapi selalu antusias mau sekolah. Mau ketemu bu guru. Ketemu kawan-kawan.
Hari ke empat, dia minta saya tak usah menunggu di sekolah. Dia mau jadi anak mandiri. Baiklah. Saya pasrahkan ke Ibu gurunya. Yang kemudian menjadi guru favorit anak lanang. Bu Is. :)
Ada beberapa hal yang mengejutkan saya. Beberapa yang membuat saya selalu merekomendasikan sekolah ini. Untuk kawan-kawan:
1. Ibu Guru yang disiplin.
Terutama Cikgu Besar atau Kepala Sekolah. Namanya Bu Nanik atau biasa dipanggil Bunda. Yang selalu ditakuti anak-anak. Pun wali muridnya. Bunda yang selalu menegur pakaian anak yang tak rapi, anak yang masih manja atau malas, anak yang tak tertib, dan sebangsanya. Bunda yang tak takut pada wali murid. Khas guru jaman dulu. Siswa hormat dan takut. Wali murid pun nurut. Toh Bunda bertujuan baik. Ini yang saya suka. Bunda ngajar TK A bersama Bu Is. Ngajar anak lanang. Yang tadinya 'kesenggol dikit aja nangis', sekarang tak begitu lagi. Pernah pas awal masuk sekolah, ada upacara bendera. Bu Dewi, komandan upacara, bersuara lantang. Anak lanang tiba-tiba nangis. Sampai rumah saya tanya kenapa tadi nangis. Katanya karena Bu Dewi teriak-teriak kayak marah. Ya Ampun,, saya tertawa. Juga geli. Ternyata salah juga selama ini cara asuh saya. Yang tanpa teriakan itu. Akhirnya saya jelaskan perlahan. Sampai dia paham.
2. Jumlah Siswa.
Setiap kelas hanya 15 anak. Dengan 2 Ibu guru. Duduk melingkar di kursi dan meja kecil. Tak ada yang di luar radar. Semua dapat perhatian.
3. Hafalan Surat Pendek, Hadist, Sholawat, Do'a dan Puji-Pujian.
Ah ini yang saya favoritkan. Mungkin semua TK Islam mengajarkan Hafalan Surat pendek dan Hadist juga, tapi di sini ada Sholawat dan puji-pujian. Seperti yang diajarkan pada maayarakat NU. Di desa saya. Rembang sana. Disiplinnya anak-anak menghafal juga karena 'takut' dimarahin Bunda. Tak apa. Sambil praktek, sambil belajar. Awalnya karena takut Bunda, lama-kelamaan jadi terbiasa. Dan mendarah daging.
4. Outing Class.
Dengan uang SPP minimalis, outing class tak pernah miss. Dan anak-anak sudah tercover semua biayanya. Tanpa tambahan. Tanpa pungutan. Gratis. Hanya wali murid yang harus bayar jika ingin mendampingi.
5. Mengaji dan Membaca.
Ini jadi agenda wajib setiap hari. Demi memenuhi target: lulus harus lancar baca dan ngaji.
6. Sholat setiap Jum'at.
Pembiasaan yang bagus. Anak faham kewajibannya. Sebagai muslim.
7. Ekstrakurikuler.
Drumband setiap hari Jum'at (bergantian dengan jadwal Sholat), berenang di Kodam, Manasik Haji (TK B).
8. Piknik.
Ini wajib di akhir tahun ajaran. Anak dan 1 wali murid sudah tercover. Jadi jika wali murid mau tambah 1 kursi lagi, bisa konfirmasi dan bayar untuk 1 kursi saja.
Tak perlu keluar banyak biaya untuk sekolah bagus. Hanya butuh upaya yang keras untuk cari mutiara terpendam.
Saya memang tak setiap hari antar-jemput ke sekolah. Sudah ada pengantar yang kami percaya. Latihan mandiri. Tapi saya selalu pantau dari WA. Ke para gurunya. Yang selalu responsif.
Tiga hari pertama MOS, anak lanang masih saya temani. Yang saat itu sedang hamil. Dia ceria, tapi perasa. Mudah sekali keluar air mata. Mungkin karena terlalu saya manja. Saya pikir. Tapi selalu antusias mau sekolah. Mau ketemu bu guru. Ketemu kawan-kawan.
Hari ke empat, dia minta saya tak usah menunggu di sekolah. Dia mau jadi anak mandiri. Baiklah. Saya pasrahkan ke Ibu gurunya. Yang kemudian menjadi guru favorit anak lanang. Bu Is. :)
Ada beberapa hal yang mengejutkan saya. Beberapa yang membuat saya selalu merekomendasikan sekolah ini. Untuk kawan-kawan:
1. Ibu Guru yang disiplin.
Terutama Cikgu Besar atau Kepala Sekolah. Namanya Bu Nanik atau biasa dipanggil Bunda. Yang selalu ditakuti anak-anak. Pun wali muridnya. Bunda yang selalu menegur pakaian anak yang tak rapi, anak yang masih manja atau malas, anak yang tak tertib, dan sebangsanya. Bunda yang tak takut pada wali murid. Khas guru jaman dulu. Siswa hormat dan takut. Wali murid pun nurut. Toh Bunda bertujuan baik. Ini yang saya suka. Bunda ngajar TK A bersama Bu Is. Ngajar anak lanang. Yang tadinya 'kesenggol dikit aja nangis', sekarang tak begitu lagi. Pernah pas awal masuk sekolah, ada upacara bendera. Bu Dewi, komandan upacara, bersuara lantang. Anak lanang tiba-tiba nangis. Sampai rumah saya tanya kenapa tadi nangis. Katanya karena Bu Dewi teriak-teriak kayak marah. Ya Ampun,, saya tertawa. Juga geli. Ternyata salah juga selama ini cara asuh saya. Yang tanpa teriakan itu. Akhirnya saya jelaskan perlahan. Sampai dia paham.
2. Jumlah Siswa.
Setiap kelas hanya 15 anak. Dengan 2 Ibu guru. Duduk melingkar di kursi dan meja kecil. Tak ada yang di luar radar. Semua dapat perhatian.
3. Hafalan Surat Pendek, Hadist, Sholawat, Do'a dan Puji-Pujian.
Ah ini yang saya favoritkan. Mungkin semua TK Islam mengajarkan Hafalan Surat pendek dan Hadist juga, tapi di sini ada Sholawat dan puji-pujian. Seperti yang diajarkan pada maayarakat NU. Di desa saya. Rembang sana. Disiplinnya anak-anak menghafal juga karena 'takut' dimarahin Bunda. Tak apa. Sambil praktek, sambil belajar. Awalnya karena takut Bunda, lama-kelamaan jadi terbiasa. Dan mendarah daging.
4. Outing Class.
Dengan uang SPP minimalis, outing class tak pernah miss. Dan anak-anak sudah tercover semua biayanya. Tanpa tambahan. Tanpa pungutan. Gratis. Hanya wali murid yang harus bayar jika ingin mendampingi.
5. Mengaji dan Membaca.
Ini jadi agenda wajib setiap hari. Demi memenuhi target: lulus harus lancar baca dan ngaji.
6. Sholat setiap Jum'at.
Pembiasaan yang bagus. Anak faham kewajibannya. Sebagai muslim.
7. Ekstrakurikuler.
Drumband setiap hari Jum'at (bergantian dengan jadwal Sholat), berenang di Kodam, Manasik Haji (TK B).
8. Piknik.
Ini wajib di akhir tahun ajaran. Anak dan 1 wali murid sudah tercover. Jadi jika wali murid mau tambah 1 kursi lagi, bisa konfirmasi dan bayar untuk 1 kursi saja.
Tak perlu keluar banyak biaya untuk sekolah bagus. Hanya butuh upaya yang keras untuk cari mutiara terpendam.
12 April 2019
PAUD dan RA PERWANIDA 02 BANYUMANIK SEMARANG: Sekolah Unggulan Di Bawah Kemenag
Sekolah adalah salah satu fondasi yang mempengaruhi karakter anak. Banyak pertimbangan yang memusingkan. Seperti biaya, para pengajar, jarak, lingkungan, materi, dan sebagainya. Saya pun sudah alami. Hampir satu tahun lalu. Saat anak pertama menjelang usia lima. Saatnya TK. Dia tak ikut PAUD. Bundanya kan pengajar, bisa lah ngajarin ala homeschooling sendiri. Begitu pikir saya. Alhamdulillah lancar. Sosialisasi bisa dengan jalan-jalan dengan Ayah & Bunda. Naik transportasi umum. Biarkan dia berinteraksi. Dengan orang baru. Dengan cara yang dia mau.
Pun dengan materi motorik dan sensorik. Tiap hari harus ada yang dia kerjakan. Dan akhirnya jadi kebiasaan. Sampai sekarang. Sabtu, Minggu dan hari libur adalah waktunya main hp. Dia bisa main hp seharian. Tapi kenyataannya, dia justru bosan. Dia tetap menggambar dan buat prakarya.
Kembali ke pilihan sekolah. Awalnya bingung. Kami ingin sekolah berbasis agama. Dengan kualitas oke. Pun harganya.
Banyak pertimbangan. Banyak survey. Ujungnya tertarik dengan rekomendasi teman senam: RA Perwanida 02 aja! Lulus dari situ pasti pinter ngaji, Sholat dan baca!. Katanya.
Saya berpikir. Bukankah semua sekolah Islam targetnya begitu?
Ternyata saya keliru. Ada beberapa yang menargetkan pintar Sholat dan Ngaji, tapi tak diajarkan Sholawat dan Puji-pujian. Ada pula yang tak mewajibkan bisa baca tulis. Sebagai syarat lulus.
Okelah. Saya berangkat. Survey ke Perwanida 02.
Di sana saya ajak Suami dan anak. Bertemu langsung dengan para pengajar. Pun Kepala Sekolah. Saat itulah saya langsung daftar. Dan bayar.
Saya dan Suami oke. Anak sumringah. Karena banyak mainan.
Saya dan Suami makin sumringah. Ternyata biayanya paling murah dibanding sekolah Islam lain. Dengan kualitas dan target sesuai harapan. Jaraknya memang lebih jauh. Tapi tak apa. Toh cuma 1 km. Masih sekitar perumahan. Masih bisa dijangkau ojek online. Dengan tarif minimal.
Sekolah ini terjangkau karena di bawah naungan Kemenag (Dharma wanita Kemenag). Gedung milik Kemenag. Para pengajar sudah PNS. Jadi kami tak lagi harus bayar uang gedung. Pun iuran untuk gaji guru. Seperti sekolah swasta.
SPP yang dibayarbper bulan pun sudah termasuk outing class, ekstrakurikuler, makan bersama setiap bulan, dan piknik di akhir tahun ajaran. Fantastis!
Pun dengan materi motorik dan sensorik. Tiap hari harus ada yang dia kerjakan. Dan akhirnya jadi kebiasaan. Sampai sekarang. Sabtu, Minggu dan hari libur adalah waktunya main hp. Dia bisa main hp seharian. Tapi kenyataannya, dia justru bosan. Dia tetap menggambar dan buat prakarya.
Kembali ke pilihan sekolah. Awalnya bingung. Kami ingin sekolah berbasis agama. Dengan kualitas oke. Pun harganya.
Banyak pertimbangan. Banyak survey. Ujungnya tertarik dengan rekomendasi teman senam: RA Perwanida 02 aja! Lulus dari situ pasti pinter ngaji, Sholat dan baca!. Katanya.
Saya berpikir. Bukankah semua sekolah Islam targetnya begitu?
Ternyata saya keliru. Ada beberapa yang menargetkan pintar Sholat dan Ngaji, tapi tak diajarkan Sholawat dan Puji-pujian. Ada pula yang tak mewajibkan bisa baca tulis. Sebagai syarat lulus.
Okelah. Saya berangkat. Survey ke Perwanida 02.
Di sana saya ajak Suami dan anak. Bertemu langsung dengan para pengajar. Pun Kepala Sekolah. Saat itulah saya langsung daftar. Dan bayar.
Saya dan Suami oke. Anak sumringah. Karena banyak mainan.
Saya dan Suami makin sumringah. Ternyata biayanya paling murah dibanding sekolah Islam lain. Dengan kualitas dan target sesuai harapan. Jaraknya memang lebih jauh. Tapi tak apa. Toh cuma 1 km. Masih sekitar perumahan. Masih bisa dijangkau ojek online. Dengan tarif minimal.
Sekolah ini terjangkau karena di bawah naungan Kemenag (Dharma wanita Kemenag). Gedung milik Kemenag. Para pengajar sudah PNS. Jadi kami tak lagi harus bayar uang gedung. Pun iuran untuk gaji guru. Seperti sekolah swasta.
SPP yang dibayarbper bulan pun sudah termasuk outing class, ekstrakurikuler, makan bersama setiap bulan, dan piknik di akhir tahun ajaran. Fantastis!
06 March 2019
Hypnobirthing Series #1: Kelas Siap Lahiran
Melahirkan adalah fitrah wanita. Walaupun seringkali disertai ketakutan. Wajar. Namanya juga manusia. Termasuk saya. Biarpun pengalaman pertama sangat nyaman.
Di kehamilan kedua. Rasanya lebih lemah dibanding yang pertama. Mulai kulit gatal karena jamur, sampai flek (bleeding). Kayaknya perempuan deh ini, Mas. Kata saya pada Suami. Suami terkekeh, karena dia tetap keukeuh janinnya laki-laki (lagi). "Kata orang kalau pas hamil rewel itu tandanya bayinya cewek, Mas" saya tak mau kalah.
"Jangan lupa juga jadi males mandi."
Saya tertawa. Benar juga.
Dan ternyata Suami saya lah yang betul. Janin kami laki-laki. Anak pertama kami bahagia bukan kepalang. Saya dan Suami ledek-ledekan. Seperti biasa.
"Wah keluarga Bismania apa kabar? Baru saja kemarin malam saya kepikiran gimana ya kabar keluarga Bismania? Kebetulan banget" Sapa Bu Naning ketika kami masuk ruang praktiknya. Di Ngesti Widodo itu. Praktisi Hypnobirthing yang penyayang itu. Ternyata masih ingat kami. Setelah lima tahun tak kemari.
Pertemuan dengan Bu Naning berlanjut pada kelas Siap Lahiran. Yang digratiskan untuk pasien Ngesti Widodo. Setiap selasa jam 15.00. Jika bukan pasien Ngesti Widodo, bayar Rp 50.000/ datang. Kelas Siap Lahiran berbeda dengan yoga hamil. Kelas yoga hamil ada sendiri. Tiap Sabtu dan Minggu. Kelas Siap Lahiran khusus untuk usia kehamilan di atas 34 minggu. Selain diajari mengatur nafas, juga gerakan-gerakan untuk macam-macam manfaat. Mulai untuk bayi sungsang, agar bayi masuk panggul dan ngunci, sampai kegel. Semua gerakan wajib dipraktikkan setiap hari. Agar maksimal.
"Bu,, kemarin saya ke dokter. Semua tes bagus semua tapi mereka tiba-tiba bilang nanti saya lahiran caesar. Saya kaget. Mau marah juga gimana", curhat saya ke Bu Naning. Alasannya karena mata saya minus 5. Saya bilang ini hamil anak kedua. Anak pertama lahiran normal. Tetap tak digubris.
" Pokoknya ikhtiar dulu. Yakin saja bisa normal dan nyaman ya, Bu" Jawab Bu Naning. Dengan senyumannya. Seperti biasa.
Ayem.
Di kehamilan kedua. Rasanya lebih lemah dibanding yang pertama. Mulai kulit gatal karena jamur, sampai flek (bleeding). Kayaknya perempuan deh ini, Mas. Kata saya pada Suami. Suami terkekeh, karena dia tetap keukeuh janinnya laki-laki (lagi). "Kata orang kalau pas hamil rewel itu tandanya bayinya cewek, Mas" saya tak mau kalah.
"Jangan lupa juga jadi males mandi."
Saya tertawa. Benar juga.
Dan ternyata Suami saya lah yang betul. Janin kami laki-laki. Anak pertama kami bahagia bukan kepalang. Saya dan Suami ledek-ledekan. Seperti biasa.
"Wah keluarga Bismania apa kabar? Baru saja kemarin malam saya kepikiran gimana ya kabar keluarga Bismania? Kebetulan banget" Sapa Bu Naning ketika kami masuk ruang praktiknya. Di Ngesti Widodo itu. Praktisi Hypnobirthing yang penyayang itu. Ternyata masih ingat kami. Setelah lima tahun tak kemari.
Pertemuan dengan Bu Naning berlanjut pada kelas Siap Lahiran. Yang digratiskan untuk pasien Ngesti Widodo. Setiap selasa jam 15.00. Jika bukan pasien Ngesti Widodo, bayar Rp 50.000/ datang. Kelas Siap Lahiran berbeda dengan yoga hamil. Kelas yoga hamil ada sendiri. Tiap Sabtu dan Minggu. Kelas Siap Lahiran khusus untuk usia kehamilan di atas 34 minggu. Selain diajari mengatur nafas, juga gerakan-gerakan untuk macam-macam manfaat. Mulai untuk bayi sungsang, agar bayi masuk panggul dan ngunci, sampai kegel. Semua gerakan wajib dipraktikkan setiap hari. Agar maksimal.
"Bu,, kemarin saya ke dokter. Semua tes bagus semua tapi mereka tiba-tiba bilang nanti saya lahiran caesar. Saya kaget. Mau marah juga gimana", curhat saya ke Bu Naning. Alasannya karena mata saya minus 5. Saya bilang ini hamil anak kedua. Anak pertama lahiran normal. Tetap tak digubris.
" Pokoknya ikhtiar dulu. Yakin saja bisa normal dan nyaman ya, Bu" Jawab Bu Naning. Dengan senyumannya. Seperti biasa.
Ayem.
04 March 2019
Seni Bertetangga #3: Kapan Harus Laporkan Tetangga Rese ke Binmas?
Emosi sudah di ubun-ubun. Mereka tak bisa dibiarkan. Selepas Maghrib, saya dan Suami berangkat ke Polsek Banyumanik. Kami disambut baik. Oleh beberapa polisi senior. Kami cerita dari awal sampai kejadian tandon air.
Awalnya mereka kira kami ingin memenjarakan si A. Atas tuduan pencurian dan perbuatan tidak menyenangkan. Tidak. Kami cuma ingin mereka jera. Pun kasus pencurian tak bisa ditindak lanjuti jika barang yang dicuri bernilai kurang dari Rp 2 juta. Mereka paham. Menjanjikan besok akan ada petugas yang datang. Ke rumah saya dan rumah si A. Akhirnya kami pulang. Tenang. Walau masih sedikit emosi.
Keesokannya, ada telpon. Mengaku petugas dari Polsek. Menanyakan apakah saya di rumah. Saya iyakan. Dan saya persilahkan. Akhirnya datang. Satu orang. Melihat kondisi tandon. Dan menanyakan apakah daging tersebut masih saya simpan.
"Saya buang, Pak. Tadinya saya foto juga tapi tiap liat fotonya langsung mau muntah karena masih terbayang baunya. Jadi saya hapus juga. Jika butuh saksi, saya ada. Karyawan saya."
Beliau menganalisa. Kemudian memanggil tetangga saya si tentara. Mereka berdua diskusi. Dan si tentara kaget.
"Ini sih sudah parah. Soalnya air kan kebutuhan pokok. Memang tidak bisa didiamkan. Harus ada tindakan."
Tandon Air |
Mereka meninggalkan nomor telpon. Agar mudah kami hubungi. Kemudian mereka pamit. Mau langsung ke rumah si A. Memberi peringatan.
====
Keesokannya, ada telpon. Dari Binmas. Bertanya apa saya di rumah. Saya mengiyakan dan mempersilahkan beliau datang. Seperti Polisi pertama, Polisi kedua ini juga bertanya tentang kronologis. Polisi pertama dari divisi kriminal. Yang kedua dari Binmas (Pembinaan Masyarakat). Setelah bercerita dan membahas solusi dan pencegahan, beliau pamit. Langsung ke rumah si A. Memberi peringatan. Kami berterima kasih.
Dua hari sejak Polisi datang, si A tak pernah keluar rumah. Hari ke-3 Binmas kembali datang.
"Kalau saya sering lewat sini pasti dia takut sendiri." Beliau beri kami cctv bekas. Untuk menakut-nakuti katanya. Hahaa,
===
Rumor has it!
Kabar tentang tandon air dan Polisi yang datang menyebar. Semua warga mendengar kabar. Dan mulai banyak yang bercerita. Mereka girang bukan kepalang. Akhirnya ada yang berani melaporkan.
"Dari dulu itu kelakuan mereka kayak gitu, Nduk. Ayam, anjing, burung diambil. Pepaya, gas, pisang di teras pun diambil. Dia keluar tiap Subuh. Semua warga uda pada tahu. Uda rahasia umum."
"Lho, kenapa ga ada sanksi sosial, Bu? Warga sini tetap baik sama dia tuh saya lihat. Kayak ga ada apa-apa. Kalau kayak gitu terus, si A kan mikir klo ga ada orang tau kelakuannya."
---
Kemudian saya ke rumah Pak RT. Awalnya saya minta maaf karena langsung lapor Polisi tanpa diskusi dengan RT. Bu RT paham. Lagi-lagi..
"Semua warga sudah paham kelakuan Bu A. Tapi tidak ada yang menegur. Mereka pura-pura tidak tahu."
"Enak banget dong si A, Bu. Ngerasa di atas angin."
"Ya begitulah memang. Warga sini sudah pada sepuh, sudah malas ngurusin masalah, Mba."
=====
Sudah dua tahun sejak hari itu. Si A tidak pernah lagi berulah. Pada rumah saya. Pada saya. Sepertinya kapok. Saya tetap anggap dia tak ada. Saya tak pernah menengok ke arahnya. Biarlah dia jadi makhluk tak kasat mata. Bagi saya. Dan keluarga.
===
Fakta dan kesaksian warga:
1. Kejadian pot tanaman saya dijatuhkan. Di malam saat mertua datang. Mereka turunkan oleh-oleh dan sepeda. Kami pun pergi lagi untuk makan malam. Cuma 30 menit. Ketika kembali, pot sudah ambyar. Pecah. Ternyata pasien pijit bayi (sebelah rumah buka pijit bayi - kita sebut 'Tetangga B') lihat si A dorong pot itu. Sesaat setelah kami pergi.
2. Daging di dalam tandon adalah daging sapi. Yang dia ambil dari rumah tetangga B. Yang ada acara Ngunduh Mantu. Sehari setelah acara, saksi melihat si A membuka pagar rumah saya. Subuh-Subuh.
===
Apakah drama yang diprakarsai si A berhenti total? Oh jangan harap. Sekarang dia punya target baru. Tetangga B. Yang rumahnha samping rumah. Persis. Tetangga B ini lah yang dulu kasih makan si A sekeluarga. 'Kasih makan' dalam arti sebenarnya. Setiap hari. Dikirimin makanan komplit. Untuk 3x makan. Si A sekeluarga. Karena kasihan. Tapi kemudian si A ketahuan. Ketika tetangga ini Ngunduh Mantu, stok makanan berkurang. Tamu undangan banyak tak kebagian. Padahal sudah dihitung. Sesuai tamu undangan. Dan dilebihkan. Snack tradisional hilang 2 tampah, air mineral hilang 2 kardus, dan lainnya. Ketika ketahuan. Si A dan suaminya marah. Tersangka lebih ngotot daripada korban. Dari situlah drama dimulai. Si A mulai nyindir dan merusak barang tetangga B.
Salah satu contohnya, pot tanaman ini dibuang ke jurang. Siapa pelakunya? Semua orang sudah paham.
Pot Bunga |
=====
Cara laporkan tetangga rese ke Binmas:
1. Kumpulkan bukti. Atau cerita. Atau saksi.
2. Lapor RT.
3. Lapor Polsek.
01 March 2019
Seni Bertetangga #2: Kapan Harus Laporkan Tetangga Rese ke Binmas?
Sabar memang ada batasnya. Terlebih untuk saya yang cenderung over protective. Masalah anak.
2017 entah di bulan apa. Tetangga yang berprofesi tentara nemu ular di sungai kecil depan perumahan. Ular itu ditangkap. Dimasukin kandang kucing, yang ga ada kucingnya tentu saja. Kemudian ditempatkan di ruang terbuka. 10 meter dari rumah saya. Untuk nantinya entah dia jual entah dibuang dimana.
Sore. Anak-anak berkerumun. Melihat ular dari dekat. Termasuk Bu A. Anak saya yang usia 3 tahunan pun tertarik. Penasaran. Saya masak di dapur. Ternyata anak saya naik pagar. Keluar. Mau lihat ular. Saya keluar dan mendapati anak saya di kerumunan. Saya panggil. Saya suruh masuk. Baru separuh jalan menuju rumah, Bu A nyeletuk. Anak kayak di penjara. Saya tak mau kalah. Daripada bergaul dengan maling. Saya membalas. Situasi pun makin memanas. Entah karena sedang PMS atau kehabisan stok sabar. Saya berteriak padanya. Semua dosanya saya ungkap di depan warga. Dia ikutan panas. Berkata saya masih kecil sok sok keminter.
"Emang aku pinter. Meh ngopo?!" Saya jawab dengan suara super tinggi.
Warga bubar.
Anak saya diam. Pertama kali lihat Bundanya semarah itu. Dia bilang ga akan lompat pagar. Ga akan lihat ular.
Suami saya menasehati. Minta saya berhati-hati. Marah boleh tapi tetap harus dikontrol. Dia bilang. Saya diam saja. Masih panas.
Selepas Maghrib. Dua warga datang. Selaku keamanan, mereka tanya ada apa. Saya ceritakan semua. Mereka mengerti. Memang seperti itu Bu A (dan suami). Mereka mantan preman pasar. Sekarang pengangguran. Suaminya kena stroke. Anak-anaknya tak bersuami. Ada yang punya anak. Begitulah. Bukan teladan. Agama pun entah apa. Tak pernah ke gereja, pun ke Masjid. Tapi mereka orang tua, saya masih muda. Saya harus mengalah. Saya diajak ke rumah mereka. Ditemani keamanan, termasuk tentara tadi. Saya oke. Saya jawab angkuh sekali. Saya iyakan. Tapi saya minta waktu minggu depan. Setelah pulang dari Tangerang. Mereka berseri-seri, membayangkan warganya akan rukun kembali. Kemudian berpamitan.
Seminggu kemudian. Dini hari saya kembali pulang Semarang. Jam 8 kegiatan produksi Tahu Jamur Mercon dimulai. Ada 1 orang karyawan yang membantu.
Di tengah proses produksi itu, saya nyalakan pompa air. Mengalirkan air dari tandon ke kamar mandi dan tempat air untuk masak. Posisi tandon air ada di teras, di bawah tanah. Ditutup dengan pintu bergembok. Beberapa menit setelah pengisian air, saya ke kamar mandi. Kenapa airnya coklat? Ah mungkin air PDAM sedang keruh. Saya pikir. Beberapa menit kemudian mulai tercium bau. Seperti bau bangkai. Saya curiga. Pompa air langsung saya matikan. Saya cek ke depan. Saya buka tandon air. Urg! Saya tidak bisa gambarkan baunya tempat itu. Suami saya dan karyawan ikut kaget. Suami ambil alih. Dibuka kembali tandon itu. Dilihat apa yang membuatnya sebau itu. Terlihat dua onggok 'daging' di dasar air.
"Bukan"
Kemudian kami kuras kamar mandi dan tandon air sekaligus. Suami saya turun ke dasar tandon dan ambil si sumber bau. Ternyata daging! Beneran daging. Seperti daging untuk rendang. Saya tahu ini ulah siapa. Suami saya sependapat. Terang saja baunya sangat busuk. Kemungkinan daging dimasukkan seminggu lalu! Saat kami berangkat Tangerang. Badan saya gemetar. Menahan emosi. Saya langsung ambil jilbab, saya ke rumah tetangga. Yang sejak awal memperingatkan tentang si A, dan merupakan guru ngaji. Saya nangis di sana. Sakit sekali.
"Saya tidak bisa sabar, Eyang. Saya mau lapor polisi." Kata saya seketika.
Beliau 'ngayem-ngayemi'.28 February 2019
Seni Bertetangga #1: Kapan Harus Laporkan Tetangga Rese ke Binmas?
Tetangga yang baik adalah rejeki. Dan tak semua orang mendapatkan privilege tadi. Drama pertetanggaan tak pernah letih menghampiri. Termasuk kami.
Tahun 2013 setelah menikah, kami (-saya tepatnya) tinggal di rumah baru. Lingkungan baru. Banyumanik. Sumber air. Daerah Semarang atas. Jauh dari keluarga, pun Suami masih di Jakarta. Saya harus menciptakan suasana nyaman. Saya harus baik pada para tetangga, yang mayoritas paruh baya. Baik, saya memang warga paling muda.
"Hati-hati dengan Bu A," Salah satu tetangga mengingatkan. Baik, tidak masalah. Saya tak akan bikin ulah.
Tahun 2014, Suami pindah Semarang. Pun saya mulai sadar ada beberapa barang yang menghilang. Handuk, sapu, kuas, dan printilan-printilan di teras. Padahal rumah saya berpagar. Dan pintu pagarnya berat sekali.
Semakin lama barang yang hilang semakin terjadwal. Yaitu ketika kami mudik. Kemana barang-barang tadi? Siapa pelakunya? Ga ada kerjaan sekali nyuri kuas oli? Sampai jemuran handuk yang dari aluminium pun ikut raib. Polanya sama. Saat kami mudik.
"Mba, saya lihat jemurannya Mba Fitri" Ibu pocokan tiba-tiba senyum geli "Itu di depan rumah Bu A. Nanti klo Mba Fitri lewat, lihat aja." Ini terjadi setahun setelah misteri hilangnya jemuran tadi. Memang benar. Saya hafal jemuran saya. Karena salah satu gagangnya lepas. Dan saya masih menyimpannya. Bentuk jemuran di depan rumah Bu A pun mirip, warna dan gagangnya yang lepas. Ya sudah. Saya ikhlaskan saja.
Tapi. Lagi-lagi. Ada hal aneh. Kali ini berubah polanya. Yaitu ketika keluarga saya atau keluarga Suami datang berkunjung. Mulai pot yang jatuh dari atas pagar sampai sindiran-sindiran tiap saya lewat.
"Bu A iri sama kamu, Nduk. Semalam mencak-mencak gara-gara keluargamu datang bawa sepeda untuk anakmu."
Saya melongo.
Iri karena mertua ngasih sepeda buat anak saya?
Lho, anak saya dikasih Eyangnya sepeda apa yang salah?
Marah sampai jatuhin pot tanaman saya gara-gara lihat Eyang ngasih sepeda untuk cucunya sendiri?
Marah tiap keluarga saya datang bawa banyak sekali oleh-oleh? Padahal pasti saya bagi untuk semua tetangga, termasuk dia. Lho kok marah? Mau marah sama siapa?
Ya sudah. Saya putuskan berhenti menegurnya.
Berhenti menaruhnya di daftar orang yang harus saya kasih oleh-oleh.
Tahun 2013 setelah menikah, kami (-saya tepatnya) tinggal di rumah baru. Lingkungan baru. Banyumanik. Sumber air. Daerah Semarang atas. Jauh dari keluarga, pun Suami masih di Jakarta. Saya harus menciptakan suasana nyaman. Saya harus baik pada para tetangga, yang mayoritas paruh baya. Baik, saya memang warga paling muda.
"Hati-hati dengan Bu A," Salah satu tetangga mengingatkan. Baik, tidak masalah. Saya tak akan bikin ulah.
Tahun 2014, Suami pindah Semarang. Pun saya mulai sadar ada beberapa barang yang menghilang. Handuk, sapu, kuas, dan printilan-printilan di teras. Padahal rumah saya berpagar. Dan pintu pagarnya berat sekali.
Semakin lama barang yang hilang semakin terjadwal. Yaitu ketika kami mudik. Kemana barang-barang tadi? Siapa pelakunya? Ga ada kerjaan sekali nyuri kuas oli? Sampai jemuran handuk yang dari aluminium pun ikut raib. Polanya sama. Saat kami mudik.
"Mba, saya lihat jemurannya Mba Fitri" Ibu pocokan tiba-tiba senyum geli "Itu di depan rumah Bu A. Nanti klo Mba Fitri lewat, lihat aja." Ini terjadi setahun setelah misteri hilangnya jemuran tadi. Memang benar. Saya hafal jemuran saya. Karena salah satu gagangnya lepas. Dan saya masih menyimpannya. Bentuk jemuran di depan rumah Bu A pun mirip, warna dan gagangnya yang lepas. Ya sudah. Saya ikhlaskan saja.
Tapi. Lagi-lagi. Ada hal aneh. Kali ini berubah polanya. Yaitu ketika keluarga saya atau keluarga Suami datang berkunjung. Mulai pot yang jatuh dari atas pagar sampai sindiran-sindiran tiap saya lewat.
"Bu A iri sama kamu, Nduk. Semalam mencak-mencak gara-gara keluargamu datang bawa sepeda untuk anakmu."
Saya melongo.
Iri karena mertua ngasih sepeda buat anak saya?
Lho, anak saya dikasih Eyangnya sepeda apa yang salah?
Marah sampai jatuhin pot tanaman saya gara-gara lihat Eyang ngasih sepeda untuk cucunya sendiri?
Marah tiap keluarga saya datang bawa banyak sekali oleh-oleh? Padahal pasti saya bagi untuk semua tetangga, termasuk dia. Lho kok marah? Mau marah sama siapa?
Ya sudah. Saya putuskan berhenti menegurnya.
Berhenti menaruhnya di daftar orang yang harus saya kasih oleh-oleh.
Subscribe to:
Posts (Atom)